Perawatan luka merupakan salah satu teknik yang harus dikuasai oleh perawat. Prinsip utama dalam menejemen perawatan luka adalah pengendalian infeksi karena infeksi menghambat proses penyembuhan luka sehingga menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas bertambah besar disamping masa perawatan yang lebih lama, sehingga biaya perawatan di rumah sakit menjadi lebih tinggi (Morison, 2003).
Statistik untuk prevalensi dan insiden luka terbuka tercatat 60.052 kasus di Victoria pada tahun 1996. Insiden di Indonesia 3.581.927 setiap tahun, 298.493 per bulan, 68.883 per minggu, 408 per jam dan 6 per menit yang penyebabnya karena kecelakaan transportasi ataupun kecelakaan kerja (Anonymous, 1996). Catatan kecelakaan lalu lintas selama mudik tahun 2004, di jalur utama selatan Jawa Tengah yang melintasi wilayah antar kabupaten terbukti cukup rawan terjadi kecelakaan. Hanya dalam selang waktu satu setengah minggu ini, terjadi 45 peristiwa kecelakaan lalu lintas.. Selain itu data bencana gempa bumi di Yogyakarta per 31 Mei 2006 pukul 10.00 tercatat sebanyak 8.686 luka berat, 541 luka sedang dan 6457 luka ringan. Dari data yang diperoleh menunjukkan tingginya angka kejadian luka terkontaminasi baik yang disebabkan kecelakaan transportasi, kecelakaan kerja ataupun karena bencana alam (data kompilasi satkorlak daerah, media center menko kesra, 2006).
Dari data yang di peroleh di Kabupaten Rembang terjadi kecelakaan sebanyak 514 pada Tahun 2010 (data POLANTAS REMBANG)
Proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam 4 fase utama yaitu inflamasi yang ditandai dengan adanya mengeluaran mediator nyeri akibat kerusakan integritas kulit sehingga mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah, hal ini mengakibatkan aliran darah di sekitar luka tinggi dan muncul tanda kemerahan, hangat, edema serta nyeri. Fase berikutnya adalah destruksi, proliferasi sel dan maturasi (Morison, 2003).
Di dalam kehidupan modern yang semakin kompleks, maka akan terjadi peningkatan stress apabila seseorang kurang mengadaptasi keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang dimiliki, baik kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Gaya hidup dan persaingan hidup menjadi semakin tinggi, hal ini disebabkan karena tuntutan akan kebutuhan ekonomi, sandang, pangan dan papan, pemenuhan kebutuhan kasih sayang, rasa aman, dan aktualisasi diri dapat berakibat tingginya tingkat stress di kalangan masyarakat. Jika individu kurang atau tidak mampu dalam menggunakan mekanisme koping dan gagal dalam beradaptasi maka individu akan mengalami berbagai penyakit baik fisik maupun mental (Rasmun, 2004, p.1).
Studi Proporsi Gangguan Jiwa yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan, 16 kota selama kurun waktu 1996-2000 menggunakan instrumen diagnostik Composite International Diagnostic Interview dari WHO terhadap 1600 anggota rumah tangga dewasa dengan menggunakan 100 sub contoh Survei Sosial Ekonomi Nasional dari setiap Badan Pusat Statistik kotamadya mendapat proporsi gangguan yang tergolong adiksi mental atau kecanduan 44%, defisit kapasitas mental atau retardasi mental 34%, disfungsi mental misalnya kecemasan, depresi dan sebagainya 16,2%, sedang disintegrasi mental atau psikosis 5,8% (Siswono, 2001).
Gangguan jiwa merupakan gangguan pikiran, perasaan atau tingkah laku sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikan sel-sel saraf di otak, dapat berupa kekurangan maupun kelebihan neutrotransmiter atau substansi tertentu. Gangguan jiwa meskipun tidak menyebabkan kematian secara langsung tetapi menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu serta beban berat bagi keluarga (Febrida, 2007).
Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku amuk. Amuk merupakan respon kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Keliat, 2005, p. 24)
Tingkah laku amuk dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain model teori importation yang mencerminkan kedudukan klien dalam membawa atau mengadopsi nilai-nilai tertentu. Model teori yang kedua yaitu model situasionism, amuk adalah respon terhadap keunikan, kekuatan dan lingkungan rumah sakit yang terbatas yang membuat klien merasa tidak berharga dan tidak diperlakukan secara manusiawi. Model selanjutnya yaitu model interaksi, model ini menguraikan bagaimana proses interaksi yang terjadi antara klien dan perawat dapat memicu atau menyebabkan terjadinya tingkah laku amuk. Amuk merupakan respon marah terhadap adanya stress, cemas, harga diri rendha, rasa bersalah, putus asa dan ketidakberdayaan. Respon ini dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal. Secara internal dapat berperilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Adapun respon marah diungkapkan melalui 3 cara yaitu secara verbal, menekan dan menantang. (Beck, Rawlins, William, 1986 : 477 dikutip oleh Keliat, 2005)
Direktur Jendral bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MHP mengakui pencapaian penanganan masalah kesehatan jiwa masyarakat belum memuaskan. Hal itu karena keterbatasan anggaran pemerintah, minimnya sarana pelayanan serta sumber daya manusia, baik psikiater maupun perawat kesehatan jiwa. Selain itu pemahaman masyarakat mengenai masalah kesehatan jiwa masih rendah. Masih ada stigma terhadap gangguan jiwa, serta adanya rasa malu untuk mencari pertolongan. Masyarakat mengidentifikasi gangguan jiwa hanya dengan psikotik atau gila. Banyak yang belum tahu bahwa kecemasan dan depresi termasuk gangguan mental dan perlu perawatan (Siswono : 2001).
Berdasarkan uraian di atas dengan melihat begitu kompleksnya penyakit gangguan jiwa dan banyaknya orang yang terkena gangguan jiwa, penulis tertarik untuk membahas studi kasus tentang Asuhan Keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan di RSJP Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
Selengkapnya silahkan download di link berikut ini