KTI KMB: OBSERVASI FEBRIS

|

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.            Pengertian
Isselbacher (1999) menyatakan, “Demam (fever, febris) adalah kenaikan suhu tubuh diatas variasi sirkandian yang normal sebagai akibat dari perubahan pada pusat termogulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior” (p.97)
Carpenito (2000) menyatakan, “Febris adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko untuk mengalami kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih tinggi dari 37,8oC peroral atau 38,8oC perektal karena factor eksternal.” (p.21)
Menurut Nelwan (1996, p:409)
“Febris (demam belum terdiagnosa) adalah suatu keadaan seorang pasien mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dengan suhu badan diatas 38,3oC dan tetap belum ditemukan penyebabnya walaupun telah diteliti selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan sarana laboratorium dan penunjang medis lainnya”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa febris adalah suatu keadaan dimana seorang individu mengalami kenaikan suhu tubuh diatas variasi sirkandian yang normal (lebih tinggi 37,8oC peroral atau 38,8oC perektal) sebagai akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior. (Isselbacher, 1999, p.97; Carpenito, 2000, p.21)

Selengkapnya silahkan klik link di bawah ini :
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V

KTI KMB: HIPERTENSI

|

BAB I
PENDAHULUAN
A.            Latar Belakang
   Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Saat ini hipertensi diderita oleh lebih dari 800 juta orang di seluruh dunia. Sekitar 10-30% penduduk dewasa dihampir semua negara mengalami hipertensi. Armilawaty yang telah mengutip dari Pujdi mengungkapakan, 90-95% hipertensi tidak diketahui penyebabnya. Sementara 5-10% disebabkan penyakit lain, seperti gangguan ginjal, gangguan pembuluh darah, dan penyakit pembuluh darah bawaan. Bila dilihat dari golongan usia, prevalensi hipertensi ternyata makin banyak seiring dengan bertambahnya usia (Armilawaty, 2007).
   Penyakit hipertensi telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyrakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus ditahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus ditahun 2025. Prediksi didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan penambahan penduduk saat ini (Clerence, 2007).
   Modifikasi gaya hidup sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mengobati tekanan darah tinggi. Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 5% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor resiko, dan 90% merupakan hipertensi esensial. Di Irian Jaya angka penderita hipertensi sebanyak 0,6%, Talang Sumatra Barat 17,8%, Jawa Tengah 1,8% (Armilawaty 2007).
Di RSUD dr. R. Soetrasno Rembang ditemukan data penderita penyakit hipertensi yang menjalani rawat inap pada tahun 2005 sebanyak 288 orang, pada tahun 2007 sebanyak 236 orang, pada tahun 2007 sebanyak 263 orang, pada tahun 2008 sebanyak 288 oramg. Sedangkan  pada tahun 2009 pada bulan januari sampai dengan april sebanyak 91 orang penderita hipertensi ( Rekam Medis RSUD dr. R. Soetrasno Rembang).
Dengan demikian angka mordibitas pasien hipertensi terus meningkat dari tahun menahun. Karena begitu besarnya kasus hipertensi,dalam menanganinya tidak hanya intervensi medis yang perlu dilakukan, akan tetapi intervensi keperawatan dengan penerapan asuhan keperawatan pada hipertensi yang bertujuan menurukan tekanan darah dan pemeliharaan tekanan pada tingkat normal sehingga dapat menurunkan angka modibitas. Hal ini termasuk program pemeliharaan kesehatan pada hipertensi, pembatasan diet yang ketat disamping intevensi farmakologi dengan diuretik atau obat anti hipertensi.
Sebagai mahasiswa Poltekkes Depkes Semarang Prodi Keperawatan Blora, yang memperoleh pendidikan teori di bangku kuliah, melihat hal-hal tersebut di atas dituntut adanya kemampuan untuk memberikan karya dan pengetahuannya dalam bidang perawatan. Dalam hal ini penulis menyajikan dalam bentuk karya tulis dengan judul Asuhan Keperawatan Pada Ny.S Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler : Hipertensi di Ruang Melati RSU dr. R. Soetrasno Rembang.
Selengkapnya silahkan klik link di bawah ini :

KTI KMB : ABSES FEMUR DEXTRA

|


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perawatan luka merupakan salah satu teknik yang harus dikuasai oleh perawat. Prinsip utama dalam menejemen perawatan luka adalah pengendalian infeksi karena infeksi menghambat proses penyembuhan luka sehingga menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas bertambah besar disamping masa perawatan yang lebih lama, sehingga biaya perawatan di rumah sakit menjadi lebih tinggi (Morison, 2003).
Statistik untuk prevalensi dan insiden luka terbuka tercatat 60.052 kasus di Victoria pada tahun 1996. Insiden di Indonesia 3.581.927 setiap tahun, 298.493 per bulan, 68.883 per minggu, 408 per jam dan 6 per menit yang penyebabnya karena kecelakaan transportasi ataupun kecelakaan kerja (Anonymous, 1996). Catatan kecelakaan lalu lintas selama mudik tahun 2004, di jalur utama selatan Jawa Tengah yang melintasi wilayah antar kabupaten terbukti cukup rawan terjadi kecelakaan. Hanya dalam selang waktu satu setengah minggu ini, terjadi 45 peristiwa kecelakaan lalu lintas.. Selain itu data bencana gempa bumi di Yogyakarta per 31 Mei 2006 pukul 10.00 tercatat sebanyak 8.686 luka berat, 541 luka sedang dan 6457 luka ringan. Dari data yang diperoleh menunjukkan tingginya angka kejadian luka terkontaminasi baik yang disebabkan kecelakaan transportasi, kecelakaan kerja ataupun karena bencana alam (data kompilasi satkorlak daerah, media center menko kesra, 2006).
Dari data yang di peroleh di Kabupaten Rembang terjadi kecelakaan sebanyak 514 pada Tahun 2010 (data POLANTAS REMBANG)
Proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam 4 fase utama yaitu inflamasi yang ditandai dengan adanya mengeluaran mediator nyeri akibat kerusakan integritas kulit sehingga mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah, hal ini mengakibatkan aliran darah di sekitar luka tinggi dan muncul tanda kemerahan, hangat, edema serta nyeri. Fase berikutnya adalah destruksi, proliferasi sel dan maturasi (Morison, 2003).
Selengkapnya silahkan klik link di bawah ini :

KTI KEPERWATAN JIWA : PERILAKU KEKERASAN

|

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan modern yang semakin kompleks, maka akan terjadi peningkatan stress apabila seseorang kurang mengadaptasi keinginan-keinginan dengan kenyataan-kenyataan yang dimiliki, baik kenyataan yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Gaya hidup dan persaingan hidup menjadi semakin tinggi, hal ini disebabkan karena tuntutan akan kebutuhan ekonomi, sandang, pangan dan papan, pemenuhan kebutuhan kasih sayang, rasa aman, dan aktualisasi diri dapat berakibat tingginya tingkat stress di kalangan masyarakat. Jika individu kurang atau tidak mampu dalam menggunakan mekanisme koping dan gagal dalam beradaptasi maka individu akan mengalami berbagai penyakit baik fisik maupun mental (Rasmun, 2004, p.1).
Studi Proporsi Gangguan Jiwa yang dilakukan Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan, 16 kota selama kurun waktu 1996-2000 menggunakan instrumen diagnostik Composite International Diagnostic Interview dari WHO terhadap 1600 anggota rumah tangga dewasa dengan menggunakan 100 sub contoh Survei Sosial Ekonomi Nasional dari setiap Badan Pusat Statistik kotamadya mendapat proporsi gangguan yang tergolong adiksi mental atau kecanduan 44%, defisit kapasitas mental atau retardasi mental 34%, disfungsi mental misalnya kecemasan, depresi dan sebagainya 16,2%, sedang disintegrasi mental atau psikosis 5,8% (Siswono, 2001).
Gangguan jiwa merupakan gangguan pikiran, perasaan atau tingkah laku sehingga menimbulkan penderitaan dan terganggunya fungsi sehari-hari. Gangguan jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikan sel-sel saraf di otak, dapat berupa kekurangan maupun kelebihan neutrotransmiter atau substansi tertentu. Gangguan jiwa meskipun tidak menyebabkan kematian secara langsung tetapi menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu serta beban berat bagi keluarga (Febrida, 2007).
Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah perilaku amuk. Amuk merupakan respon kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, dimana individu dapat merusak diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Keliat, 2005, p. 24)
Tingkah laku amuk dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain model teori importation yang mencerminkan kedudukan klien dalam membawa atau mengadopsi nilai-nilai tertentu. Model teori yang kedua yaitu model situasionism, amuk adalah respon terhadap keunikan, kekuatan dan lingkungan rumah sakit yang terbatas yang membuat klien merasa tidak berharga dan tidak diperlakukan secara manusiawi. Model selanjutnya yaitu model interaksi, model ini menguraikan bagaimana proses interaksi yang terjadi antara klien dan perawat dapat memicu atau menyebabkan terjadinya tingkah laku amuk. Amuk merupakan respon marah terhadap adanya stress, cemas, harga diri rendha, rasa bersalah, putus asa dan ketidakberdayaan. Respon ini dapat diekspresikan secara internal maupun eksternal. Secara internal dapat berperilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Adapun respon marah diungkapkan melalui 3 cara yaitu secara verbal, menekan dan menantang. (Beck, Rawlins, William, 1986 : 477 dikutip oleh Keliat, 2005)
Direktur Jendral bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan, Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MHP mengakui pencapaian penanganan masalah kesehatan jiwa masyarakat belum memuaskan. Hal itu karena keterbatasan anggaran pemerintah, minimnya sarana pelayanan serta sumber daya manusia, baik psikiater maupun perawat kesehatan jiwa. Selain itu pemahaman masyarakat mengenai masalah kesehatan jiwa masih rendah. Masih ada stigma terhadap gangguan jiwa, serta adanya rasa malu untuk mencari pertolongan. Masyarakat mengidentifikasi gangguan jiwa hanya dengan psikotik atau gila. Banyak yang belum tahu bahwa kecemasan dan depresi termasuk gangguan mental dan perlu perawatan (Siswono : 2001).
Berdasarkan uraian di atas dengan melihat begitu kompleksnya penyakit gangguan jiwa dan banyaknya orang yang terkena gangguan jiwa, penulis tertarik untuk membahas studi kasus tentang Asuhan Keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan di RSJP Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
Selengkapnya silahkan download di link berikut ini

 

©2009 HUDENIZIA BLOG | Template Blue by TNB